Alkisah, Suatu senja saat ada sekeluarga yang sedang dalam perjalanan tiba waktu shalat maghrib, lalu mereka menepi dan melaksanakan Shalat di sebuah Mesjid di Kompleks Johor Indah Permai, namun karena istrinya sedang haid hanya bapak dan anaknyalah yang melaksanakan shalat maghrib tersebut, sementara si ibu menunggu di dalam mesjid, tetapi ketika waktu shalat mulai tiba masuk seorang perempuan cantik yang baik hati mengatakan kepada si ibu yang sedang menunggu tersebut.

 “Hai ibu kamu sedang haid ya, kalau haid tidak boleh berada disini, kurang kerjaan saja” saya terkejut dan merasa kasihan melihat ibu tersebut, karena kelihatannya dia merasa malu apalagi ibu itu mengatakannya didepan jamaah ibu2 lainnya, tapi ibu itu tidak berkata apa2 dan langsung keluar tanpa mau berdebat karena merasa dia bersalah. setahu saya kita sebagai sesama umat harus saling memberitahu dengan santun, dalam kasus tadi alangkah lebih baik jika perempuan cantik tadi memberitahukan kepada si ibu secara berbisik tanpa diketahui orang lain, sehingga si ibu tidak menjadi malu, padahal belum tentu yang diyakini si perempuan cantik tadi adalah sesuai syariat dan keyakinannya.

Bagaimana hukum wanita haid masuk masjid..?! Kita akan coba sharing dari berbagai sumber dan rujukan yang ada bahwa sebenarnya, ada perbedaan pendapat/ khilafiah di kalangan ulama. ada yang membolehkan, ada yang membolehkan dengan syarat, dan ada pula yg tidak membolehkannya. Sekarang, mari kita kupas bersama2 melalui dalil2 yg ada dan mari kita kaji dgn seksama perbedaan pendapat tersebut.

 Ada 3 pendapat yang berkenaan dengan hal wanita haid masuk masjid tersebut. Pendapat-pendapat tersebut adalah sebagai berikut :

 1. Pendapat yg melarang wanita haid masuk masjid, hal ini kebanyakan diikuti oleh sebagian ulama bermadzhab Maliki dan Hanafi. Mereka mutlak melarang dalam apapun.

 2. Pendapat yang membolehkan dengan syarat. Pendapat ini banyak diikuti dari kalangan ulama bermadzhab Syafi’i dan ulama dari madzhab Hambali. Pendapatnya adalah melarang jika wanita tersebut menetap/berdiam di masjid, kecuali sekedar lewat atau berjalan atau mengambil sesuatu yang ada di dalm masjid saja. Artinya, membolehkan dengan syarat.

 3. Pendapat yang membolehkan secara mutlak tanpa syarat apapun bagi wanita haid berada di masjid selama diyakini darahnya tidak akan mengotori masjid.

 Sekarang, mari kita kupas dalil2 yang ada sehubungan dengan pendapat2 tersebut, agar kita bisa memilah dan memilih pendapat mana yang lebih mendekati kebenaran.

 I. Pendapat ulama yang melarang secara mutlak :

 “Aku tidak menghalalkan masjid bagi orang junub dan tidak pula bagi wanita haid.” (HR. Abu Daud 1/232, Baihaqi 2/442. Didlaifkan dalam Al Irwa’ 1/124)

 Hadits tersebut ternyata hadits dhaif karena ada rawi bernama Jasrah bintu Dajaajah. Oleh karena itu hadits ini didhaifkan oleh sekelompok ulama di antara Al-Imam Al-Baihaqi Ibnu Hazm dan Abdul Haq Al-Asybili. Bahkan Ibnu Hazm berkata: “Hadits ini batil.” dan juga telah di dhaifkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dlm Irwa‘ul Ghalil no. 124 Dha’if Al-Jami‘ush Shaghir no. 6117 dan Dha’if Sunan Abi Dawud.

II. Pendapat Ulama yang membolehkan dengan syarat :

 Firman Allah Ta’ala : “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendekati shalat sedangkan kalian dalam keadaan mabuk hingga kalian mengetahui apa yang kalian ucapkan dan jangan pula orang yang junub kecuali sekedar lewat sampai kalian mandi.” (An Nisa’ : 43)

Kata “shalat” di artikan tempat shalat.. Tetapi dalam ayat tersebut tidak menyebutkan wanita haid. Wanita haid dalam ayat tersebut diqiyaskan dengan kata junub. Sehingga ulama dari kalangan ini membolehkan dengan syarat hanya sekedar lewat atau mengambil sesuatu di dalam masjid dengan dikuatkan oleh dalil

Hadits ‘Aisyah, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah berkata kepadanya: “Siapkanlah al-Humrah (semacam sajadah) dari masjid. Lalu ‘Aisyah berkata: Saya sedang haid. Beliau bersabda: Sesungguhnya haid kamu tidak di tanganmu” (HR. Muslim dan at-Turmudzi, no. 134, dan Abu Dawud, no. 261, dan an-Nasa’i, no. 272, dan Ibnu Majah, no. 632).

Hadits tersebut di atas tidak menerangkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan Aisyah harus segera keluar dari masjid atau boleh masuk masjid tapi sekedar mengambil al-Humrah saja. Beliau SAW hanya menerangkan haid tidak di tanganmu, sehingga selama aman dan tidak akan mengotori masjid, maka diperbolehkan wanita untuk berada di dalam masjid tanpa batas waktu dan syarat2 tertentu.

III. Pendapat ulama yang membolehkan secara mutlak :

Beberapa ulama yang membolehkan secara mutlak adalah Ibnu Hazm, Ibnu Mundzir, Al Muzanny dsb. Mereka berpendapat, bahwa tidak ada satupun dalil sahih yang melarang wanita haid berada di dalam masjid. Sedangkan dalil yang membolehkan wanita haid berada di dalam masjid justru ada dan tergolong hadits shahih. Adapaun dalil2 yang digunakan adalah sebagai berikut :

  1. Bermukimnya wanita hitam yang biasa membersihkan masjid, di dalam masjid, pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Tidak ada keterangan bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan dia untuk meninggalkan masjid ketika masa haidnya, dan haditsnya terdapat dalam Shahih Bukhari.

 2.      Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang tertimpa haid sewaktu melaksanakan ibadah haji bersama beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :“Lakukanlah apa yang diperbuat oleh seorang yang berhaji kecuali jangan engkau Thawaf di Ka’bah.” (HR. Bukhari nomor 1650). Dalam hadits di atas Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak melarang ‘Aisyah untuk masuk ke masjid dan sebagaimana jamaah haji boleh masuk ke masjid maka demikian pula wanita haid (boleh masuk masjid).

 3.      Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

“Sesungguhnya orang Muslim itu tidak najis.” (HR. Bukhari nomor 283 dan Muslim nomor 116 Kitab Al Haid)

 

 

 

Dan dalam hadits yang lain beliau bersabda: “Dijadikan bagi kami bumi ini keseluruhannya adalah masjid, dan dijadikan debunya bagi kami alat bersuci apabila tidak ada air.” (HR. Muslim, 5/4)

Berkata al-Imam an-Nawawiy : Berkata shahabat Abu Hanifah bahwa yang dimaksud ayat tersebut adalah seseorang yang bepergian (musafir) jika dalam keadaan junub dan tidak mendapati air diperbolehkan baginya bertayamum dan mendirikan shalat meskipun sifat junub masih ada karena yang dimaksudkan adalah hakekat shalatnya. Dan ulama Hanafiyah yang berpendapat demikian adalah al-Murghinaniy dan Ibnu Hamam dan selain keduanya. Adapun tafsir yang kedua, yang mengatakan bahwa maksud ‘aabiriy sabiyl” ialah sekedar berlalu di dalam masjid tidak bersumber dari seorangpun dari Sahabat, dan diriwayatkan dengan sanad yang lemah dari Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas.

 Sehingga menurut pendapat kelompok ini, tidak ada satupun dalil yang shahih dan pasti yang melarang wanita haid berada di dalam masjid dengan alasan dan keadaan apapun.

 Demikian sedikit yang dapat diterangkan  mengenai wanita haid beserta dalil2 yang ada. Silahkan sahabat cahaya mengambil salah satunya yang anda anggap paling kuat landasan hukum dan dalil2nya. Kebenaran mutlak adalah milik Allah, akan tetapi Allah telah memberikan kita alat agar kita bisa memilah dan memilih sebuah kebenaran.

Ada juga yang bilang kalo perempuan lagi haid tidak boleh treatment, nah ini tergantung kenyamanan kita saja jika kita merasa nyaman why not, lanjutkan saja, mungkin yang melarang tersebut jika dikhawatirkan haidnya mengganggu jalannya kenyamanan treatment berlangsung, nah untuk hal ini sebaiknya menunggu hingga haidnya selesai baru deh call RCC ya.

Dan bagi perempuan cantik yang baik hati yang telah memberitahukan kepada seorang ibu tersebut, jika anda membaca artikel ini kami berterimakasih kepada anda karena menginspirasi kami untuk menshare hal ini. Semoga bermanfaat……

 Wallahu Alam……